Senin, 09 November 2015

Seperti Mas Mono





Menginspirasi Seperti Mas Mono
Oleh Rivai Hutapea

Ingin berubah, inilah yang mendorong Agus Pramono (Mas Mono) muda saat itu meninggalkan kampung halamannya Madiun menuju Jakarta. Berbekal ijazah SMA, tak menyurutkan dirinya untuk mengadu nasib di ibukota, Jakarta yang terkenal keras. 

Di Jakarta, segala profesi ia jalani, mulai dari office boy di sebuah perusahaan, jadi tukang ketik di kantor, hingga jadi penjual bakul gorengan ke sekolah-sekolah. Singkat cerita, cah ndeso yang hanya jebolan SMA itu, kini telah menjadi pengusaha sukses, pemilik waralaba Ayam Bakar Mas Mono dengan ratusan outlet yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Karena itu pula ia pernah mendapat Asia Pasifik Entrepreneur Award 2010.

Mas Mono seakan menampar, sekaligus menginspirasi kita. Ijazah tinggi, kemewahan, status sosial, fasilitas mencukupi dan uang banyak, ternyata bukan jaminan meraih keberhasilan. Yang  lebih penting dari itu semua, selain usaha keras dan kesungguhan adalah visi, cita-cita atau keinginan yang kuat untuk berubah.

Cita-cita dan keinginan kuat untuk berubah punya nilai lebih dibanding fasilitas yang memadai dan uang yang mencukupi. Setidaknya ada dua kelebihannya. Pertama, ia berfungsi sebagai benteng pertahanan diri dari berbagai kesulitan yang bakal muncul.

Sebagaimana mafhum, terlebih di era globalisasi seperti saat ini, tantangan, ujian dan hambatan hidup semakin berat dan kompleks. Seperti halnya perisai, keinginan kuat berubah menjadi tameng yang melindungi diri dari berbagai serangan negatif, baik yang datang dari internal maupun eksternal sehingga kita mampu bertahan. 

Kedua, di sisi lain, cita-cita dan semangat untuk berubah menjadi stimulus diri. Bak ketapel, ia berperan sebagai karet yang akan mendorong batu sampai ke tujuan. Keinginan kuat ini menjadi pemicu diri yang akan mendorong kita meraih keberhasilan.

Sungguh tak terbayangkan apa yang akan terjadi bila saat merantau ke Jakata dulu, Mas Mono tidak membekali dirinya dengan cita-cita dan keinginan berubah yang kuat. Boleh jadi, ia tidak kuat menahan tantangan ibukota yang ganas ini.
Mengantongi ijazah SMA, mungkin juga ia mentok hanya sebagai pesuruh atau office boy di kantor karena kalah bersaing dengan mereka yang bergelar tinggi. Atau boleh jadi karena minder dengan orang-orang kota, karena nasib tidak juga berubah, ia memilih kembali ke kampung halaman mengais rezeki di sana.   

Sehingga cerita Mas Mono sebagai pengusaha sukses dan mentor bisnis di berbagai universitas, mungkin hanya ilusi. Cerita anak kampung yang sukses membangun bisnis waralaba ayam bakar dengan ribuan karyawan, boleh jadi tidak pernah terwujud.   

Dan cerita berbagai aktivitas sosial keislaman bersama sejumlah ustadz, berceramah memberikan motivasi agama dan bisnis di berbagai belahan negeri, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Arab Saudi, Kuwait, Dubai dan lainnya, mungkin juga hanya mimpi di siang bolong.

So, belajar dari Mas Mono, janganlah salah langkah. Sejak awal, tanamkan cita-cita yang dalam agar kita mudah meraih keberhasilan.

Kamis, 05 November 2015

Potensi Diri




Potensi Diri




Oleh Rivai Hutapea

Kesuksesan tidak semata-mata diukur dari materi, tapi juga non materi. Karenanya, orang sukses tidak sekadar berkecukupan materi tapi juga mereka yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain, bahkan bagi banyak orang. Dan minat atau hobi yang dipupuk dengan baik dapat mengantarkan seseorang meraih kesuksesan.

Niken Wulandari, misalnya. Dari hobi memasak, ia menjadi master chef dan pernah pula mengadu kemampuannya memasak di salah satu stasiun televisi nasional. Selain rutin mengisi workshop membuat kue yang pesertanya dari dalam dan luar negeri serta ibu-ibu kedutaan besar negara asing, wanita yang visioner ini juga rutin memproduksi kue pesanan dan roti halal dan bernilai gizi tinggi untuk kesehatan konsumen bermerek Yum Yum.

Seperti itu pula Martha Tilaar. Sejak kecil, Martha sangat berminat pada tata rias dan kecantikan. Hobinya tersebut mendorong Martha menimba ilmu kecantikan ke luar negeri. Sepulangnya dari luar negeri, ia pergi ke pelosok-pelosok daerah di Jawa menemui para sepuh untuk mempelajari resep-resep kecantikan para putri kerajaan Jawa.

Kemudian, Martha mulai memproduksi usaha kecantikan kecil-kecilan yang bermanfaat besar untuk menjaga kesehatan dan kecantikan perempuan. Seiring perjalanan waktu, produk kecantikannya semakin berkembang pesat. Dan kini Martha Tilaar tercatat sebagai pengusaha besar kecantikan dan kosmetik Indonesia.

So, jangan pandang sebelah mata minat dan hobi. Hobi ternyata bisa mendatangkan keberkahan dan kesuksesan kita di kemudian hari. Namun, untuk meraih kesuksesan tersebut, ada syaratnya. Hobi, potensi dan minat kudu dipupuk terus menerus agar semakin terasah.

Agar berkembang sempurna, hobi juga harus mendapatkan lingkungan yang tepat dan baik agar cepat berkembang. Hobi memasak Niken Wulandari semakin terasah baik karena ia menimba ilmu di sekolah memasak terbaik dan selalu mencari dan mencoba berbagai resep masakan yang dia dapatkan di toko buku, baik saat berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Mustahil pula Martha Tilaar bisa menjadi pengusaha kosmetik dan kecantikan sukses di negeri ini bila ia tidak bersekolah kecantikan terbaik dan mendapatkan ilmu dari para sepuh yang menularkan rahasia resep-resep para putri raja Jawa. Bila syarat-syarat di atas tidak dilakukan, potensi, bakat, minat dan hobi Niken dan Martha, mustahil dapat berkembang baik. Mereka bakalan tidak akan melahirkan apa-apa. Mereka bukan pula siapa-siapa.

Parahnya, tak hanya abai, tapi banyak dari kita yang tak mengetahui minat, hobi, bakat dan potensi yang terpendam dalam dirinya. Sehingga, menjalani kehidupan bagaikan air mengalir. Mengikuti ke mana saja alur kehidupan, tanpa mengerti arah dan tujuan.
Padahal, hal itu bisa dihindari bila sejak awal kita telah mengetahui bakat, minat, potensi dan hobi kita. Menemukan bakat dan potensi diri adalah langkah awal menuju kesuksesan. Selanjutnya, rawatlah potensi diri itu dengan baik agar mencapai prestasi terbaiknya. Siapa takut?
   

































Ayah Sebagai 'Kepala Sekolah"






Kewajiban Ayah sebagai "Kepala Sekolah"

Setidaknya ada empat kewajiban ayah sebagai kepala sekolah dalam mendidik keluarga dan anak-anak. Membuat suasana aman dan nyaman, merumuskan visi dan misi, melakukan evaluasi, dan menegakkan aturan. Jika empat kewajiban ini dijalankan ayah, insya Allah target pengasuhan dan pendidikan akan tercapai.   

Dogma yang menyatakan Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak yang kemudian dilengkapi oleh Ustadz Bendri Jaisyurrahman menjadi Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak dan Ayah adalah Kepala Sekolahnya, menempatkan posisi ayah dan ibu menjadi setara dalam mendidik anak di rumah. Bukan lagi menjadi tanggung jawab ibu semata. Karenanya, ketika ada anak yang berperilaku buruk, tidak lagi kita berteriak, “Ibunya mana nih? Bisa nggak sih ngurus anak?”
Persoalannya, saat ini, banyak madrasah yang tak memiliki kepala sekolah. Ayah yang seharusnya menjalankan tugas ini tak memahami peran dan ilmunya. Tetap saja, istri mengurus anak seorang diri, tanpa orientasi, arahan dan bimbingan dari kepala sekolah. Akibatnya, mengasuh dan mendidik anak sekadar menghabiskan waktu menunggu suami pulang kerja sambil berkeluh kesah.  “Mengasuh anak kok susah banget, ya?” Mengasuh anak memang susah, karena hadiahnya adalah surga.
Karena itu, sudah seharusnya ayah menjalankan fungsi sebagai kepala sekolah di rumah. Lantas, bagaimana caranya? Seperti umumnya kepala sekolah, meski jarang berinteraksi langsung dengan anak-anak, tapi tetap menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai kepala sekolah. Apa saja tugas kepala sekolah? Minimal ada 4 tugas kepala sekolah yang menjadi tanggung jawab ayah demi terwujudnya proses pengasuhan dan pendidikan anak yang berkualitas, yakni: 

1.   Membuat Suasana Aman dan Nyaman
          Kunci utama yang harus diupayakan oleh ayah agar madrasah di rumah aman dan nyaman adalah membahagiakan pasangan. Kita sepakat, dalam konteks pengasuhan, sekolah pertama dan terbaik bagi anak adalah ibu. Tapi di luar itu, peran ibu sebagai sekolah juga harus mampu memberikan rasa nyaman bagi anak agar betah berlama-lama di dekatnya. Tidak keluyuran ke luar rumah. Ibu menjadi tempat curhat saat anak resah. Dan, yang utama memberikan bekal pendidikan pada anak agar tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Semua hal di atas bisa dipenuhi oleh istri, jika peran kepala sekolah yang menjadi tugas ayah berjalan maksimal. Sebagai kepala sekolah ayah bertanggung jawab menyamankan sekolah. Artinya, ayah harus mampu membahagiakan istri dan anak-anak. Sulit bagi istri membuat anak betah di sisinya jika ia tak mendapatkan dukungan. Sehingga, menjadi mudah stress, tertekan, hanyut dalam perasaannya sendiri, merasa lelah, bosan, dan lainnya.
Istri yang tak nyaman biasanya gampang marah dan emosinya meledak-ledak. Akibatnya, anak lebih betah nongkrong di mall, warnet atau tempat hiburan lainnya. Malas pulang bertemu ibunya, karena ibunya berubah menjadi sosok yang menyeramkan bagi jiwa anak. Inilah gejala munculnya mother distrust di kalangan anak-anak saat ini, akibat ibu yang tak lagi memberikan kenyamanan bagi mereka.
Semua ini karena peran ayah sebagai kepala sekolah hilang. Tanggung jawab menciptakan suasana nyaman ada di tangan ayah. Bagaimana caranya? Ayah bisa memulai pembenahan dengan memperhatikan kebutuhan batin sang istri. Pada hakikatnya, istri bisa memberikan rasa nyaman pada anak-anak jika kebutuhan batinnya terpenuhi. Karenanya, ayah harus memberikan ruang bagi istri untuk berbicara mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Sebuah penelitian menyebutkan, wanita yang sehat jiwanya minimal mengeluarkan 20.000 kata per hari.
Istri yang jarang diajak bicara oleh suaminya, bahasa tubuhnya tak menyenangkan. Menyusui anak resah, tak bisa mendengarkan curhatan anak, tak sabar saat berbicara karena emosi tak terkontrol. Akibatnya, anak mendapatkan “sampah emosi” ibunya. Anak pun memilih menjauh dari ibunya. Inilah petaka pertama dalam pengasuhan anak, ketika ibu tak lagi dirindukan oleh buah hatinya.
Maka, kewajiban ayah adalah memberikan waktu dan ruang bagi ibu untuk bicara setiap hari sebagai upaya menyehatkan jiwanya. Dengarkanlah keluh kesahnya. Jika istri mau marah-marah dan menangis silakan tumpahkan semuanya ke suami, jangan ke anak-anak, apalagi orang lain. Biarkan istri membuang sampah emosinya ke suami agar ia bisa memberi cinta dan kasih sayangnya pada anak-anak.
Setelah memenuhi kebutuhan batin, suami juga harus mampu memenuhi kebutuhan fisiknya, sehingga istri menjadi sehat jasmani dan ruhaninya. Istri yang jiwanya sehat insya Allah mampu menjalankan tugasnya sebagai madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Ia akan tahan berjam-jam mendengarkan keluh kesah buah hatinya. Ia mudah memberikan maaf dan senyuman saat si kecil melakukan kesalahan, sehingga anak pun selalu rindu di dekatnya. Kesimpulannya, bahagiakan istri kita, karena ia merupakan sekolah pertama anak-anak kita.  

2.   Merumuskan Visi dan Misi 
Mengasuh anak tak bisa pasrah mengikuti aliran air. Kalaupun mau ikuti aliran air harus dipastikan ujungnya ke mana. Ke danau? Laut? Kolam tetangga? Atau selokan? Karena itu, sebagai kepala sekolah, ayah harus merumuskan garis-garis besar pengasuhan dan pendidikan di rumah agar istri bisa mendidik sesuai tujuan. Garis-garis besar pengasuhan dan pendidikan inilah yang tertuang dalam visi misi.
Kepala sekolahlah yang bertugas merumuskan sekaligus mewujudkan visi misi ini. Jadi, meski ayah sibuk bekerja di luar rumah, ayah tetap bertugas menentukan visi dan misi pengasuhan. Sehingga, ibu sebagai madrasahnya tahu apa yang mesti dilakukan. Mau dibawa ke mana arah pendidikan anak tergantung pada visi misi sang ayah. Di sini akan terjalin kerjasama antara ayah dan istri dalam proses mengasuh dan mendidik bukan hanya saat ‘membuatnya’ saja.
Tapi faktanya, saat ini banyak ibu yang tak mengetahui bagaimana dan harus melakukan apa dalam mengasuh anak? Karena ayah tak memberikan panduan. Jadilah ibu mengasuh anak seperti falsafah “mengalir bagaikan air.” Tak memiliki perencanaan. Padahal, jika memiliki panduan, tugas ibu menjadi jelas setiap harinya.
Belajar dari Nabi Ibrahim, meski ia berada di Palestina sedangkan istri dan anaknya di kota Makkan, tapi Nabi Ibrahim telah merumuskan visi dan misi pendidikan anaknya. Semua ini tertuang dalam doa yang terangkai dalam al-Qur’an Surah Ibrahim (14) ayat 35–37. Berdasarkan ayat di atas, setidaknya ada 4 visi Nabi Ibrahim sebagai ayah dalam mendidik anak, yakni menguatkan aqidah, membiasakan ibadah, menanamkan akhlak, dan menguasai life skill  (keterampilan).
Berangkat dari visi misi inilah terbukti keturunan Ibrahim adalah manusia-manusia pilihan, mulai dari Ismail, Ishaq, Yaqub, Yusuf hingga Nabi Muhammad Saw. Ibrahim pun diberi gelar “Ayah Para Nabi.” Allah SWT juga memuji keluarga Ibrahim sebagai keluarga terbaik (QS Ali Imran 3: 33). Lagi-lagi, semuanya bermula dari visi misi sang ayah.

3.      Melakukan Evaluasi 
Tugas ayah berikutnya adalah evaluasi pengasuhan. Jangan bosan mengevaluasi pengasuhan anak-anak yang dilakukan berdasarkan visi orang tua. Sulit rasanya mengevaluasi jika tak memiliki visi misi. Bukannya evaluasi malah jadi ilusi. Terjadi saling nyalahkan, “gara-gara elu sih!” Karenanya, rumuskan visi kita sebagai orang tua. Inti dari visi pengasuhan ada dua, yakni membebaskan diri sendiri, istri dan anak-anak dari api neraka dan membawanya ke surga.
Karena surga menjadi tujuan, maka orientasi akhirat harus menjadi standar evaluasi utama dalam pengasuhan. Bukan lagi sekadar bagaimana anak lulus UN dengan nilai tinggi, jago main biola, jago bahasa asing, masuk universitas ternama, dan jadi orang kaya. Bukan itu. Inti evaluasi adalah sejauh mana anak menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya.
Nabi Ya’qub as mencontohkan. Saat ajal akan menjemputnya, ia evaluasi pengasuhan anaknya dengan bertanya, “Apa yang kalian sembah setelah ayah wafat, Nak?” Nabi Ya’qub tidak bertanya, “Apa rencana bisnis mu sepeninggalan ayah, Nak?” atau “Berapa hektar kebun yang akan kamu buka sepeninggalan ayah, Nak?” Tidak sama sekali. Sebab, pertanyaan tentang siapa yang akan disembah adalah inti dari pengasuhan dalam Islam. Ini menunjukkan, agama merupakan standar utama yang harus menjadi prioritas dalam evaluasi pengasuhan.
Lantas, bagaimana cara kita mengetahui sukses atau gagalnya visi pengasuhan anak-anak? Kita bisa belajar pada Ibnu Jarir ath-Thobari. Ia mengatakan, “Dialog antar rakyat menunjukkan visi asli pemimpinnya. Hal ini ia sandarkan pada tiga khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, yakni Sulaiman bin Abdul Malik, Walid bin Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
Pada era Sulaiman, pembicaraan rakyat selalu dimulai dengan kalimat “Anak sudah berapa? Istri kok masih satu?” Sebagian besar tema tentang keluarga. Setelah ditelusuri, Sulaiman bin Abdul Malik memang menjadikan keluarga sebagai program utama, maka rakyatnya pun terinspirasi membicarakan tentang keluarga.
Pada zaman Walid bin Abdul Malik, obrolan rakyat berubah. “Rumah sudah berapa? Kebun berapa hektar? Perdaganganmu sudah sampai negara mana?” Dan, pertanyaan sejenis sekitar kekayaan. Setelah ditelusuri, Walid bin Abdul Malik memang dikenal sebagai pemimpin yang concern pada masalah kekayaan dan pembangunan. Rakyat pun terpengaruh oleh visinya.
Lihatlah pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Setiap obrolan rakyat selalu tentang masalah agama. “Hafalan Qur’anmu sudah berapa juz? Apakah kamu puasa hari ini? Nanti malam bangunkan saya qiyamulail ya? Dan lainnya. Ini terjadi karena Umar memang pemimpin yang sangat perhatian pada urusan akhirat dan menjadikan agama sebagai bidang pembangunan utama.
Kita bisa ambil pelajaran dari tiga kekhalifaah di atas. Dalam konteks keluarga, apa yang sering dibicarakan anak menunjukkan visi asli kita sebagai orang tuanya. Karena anak ibarat rakyat dan orang tua adalah pemimpinnya. Jika anak lebih banyak berbicara makanan, mungkin karena ayahnya penikmat wisata kuliner. Jika anak lebih banyak membicarakan isi tabungan, lagi-lagi karena ayahnya dikenal sebagai pemburu kekayaan, dan seterusnya.
Intinya, dengarkan pembicaraan anak dari sekarang. Dari lisan mereka kita bisa mengevaluasi pengasuhan yang sudah kita jalankan. Jika mereka jarang membicarakan masalah agama, itu tandanya pengasuhan belum sesuai misi dan visi. Membawa anak dan istri kumpul di surga bisa-bisa hanya impian belaka. Jika ini terjadi, jangan ragu untuk mengenalkan visi misi ayah secara terbuka pada anak.
Bagaimana caranya? Anda bisa mengatakan pada anak-anak dan istri, “Ayah  ingin kita semua masuk surga bersama-sama, ayah tak ingin hanya ayah saja, atau hanya ayah dan ibu saja yang masuk surga, sementara kalian tidak. Ayah ingin kita semua satu keluarga masuk surga bersama.” Intinya, teruslah mensosialisasikan visi surga kepada anak kita, kelak mereka pun akan menyadari keseriusan kita dalam mengasuh mereka. Insya Allah.  

4.   Menegakkan Aturan
Menegakkan aturan dalam keluarga yang sudah disepakati bersama juga menjadi tugas utama seorang ayah, bukan ibu. Jika ayah tak menjalankan tugas ini, pada dasarnya ayah telah menzhalimi istri dan anak-anaknya. Kok bisa? Karena ayah membiarkan anak dengan kesalahannya, berarti membiarkan anaknya terjerumus ke dalam jalan menuju neraka, bukan surga.
Ketika ayah acuh dengan kesalahan anak-anak, biasanya istri tampil mengambil peran. Maka, ibu yang seharusnya berfungsi memberikan rasa nyaman berubah menjadi ibu yang memprotek anaknya. Karena takut anak-anak lebih banyak berbuat kesalahan, sang ibu pun membuat sederet larangan baru pada anak-anak. Akibatnya, anak-anak pun menjauh dari ibunya. Artinya, ayah yang tak peduli dengan penegakan peraturan sama artinya dengan mencabut fungsi dasar ibu sebagai pemberi rasa nyaman bagi anak-anak. Apalagi jika ayah ikut menyalahkan istrinya, lengkaplah predikat ibu sebagai musuh bagi anak. Ingat, petaka pertama pengasuhan adalah ketika ibu tak lagi dicintai dan dirindukan buah hatinya.
Maka, ayah memang harus pulang, terlibat dalam pengasuhan. Tunjukkanlah otoritas dan ketegasan. Jangan biarkan istri Anda yang mengambil alih fungsi ini. Biarlah anak merasa ayahnya tegas atau galak. Karena memang inilah the real father. Asalkan anak nyaman dengan ibunya, ini jauh lebih baik, ketimbang anak menjauh dari ibunya. Saat anak protes dengan keputusan ayah, ibu bisa menenangkan dan menguatkannya. 
Ini yang namanya keseimbangan dalam pengasuhan. Ayah sebagai pemilik otoritas aturan bertugas menjaga anak dari pengaruh buruk lingkungan. Ibu sebagai pemberi rasa nyaman menjadi daya pikat anak untuk selalu pulang ke rumah. Tentu saja, ayah yang tegas juga harus diimbangi dengan kelembutan dan kebaikan pada sisi lain agar anak tidak trauma. Begitu juga ibu, sesekali boleh bawel asal jangan kebablasan. Jika ibu ingin menegakkan aturan, cukup dengan kalimat “Ingat nggak, ayah bilang apa?” Anak tahu bahwa aturan bukan dari ibunya tapi dari ayah. Jika fungsi ayah serius dijalani, insya Allah tak ada lagi kalimat resah dan gelisah dari ibu karena ayah telah kembali.
Dwi Hardianto
Diolah dari berbagai sumber

Rabu, 04 November 2015

merancang ayah idola







Merancang Ayah Idola di Sekolah

Pembelajaran di sekolah bisa dirancang untuk membangun kelekatan antara ayah dengan anaknya. Ini penting, karena ayah yang intensif menjalin hubungan dengan anak sejak dini, akan membantu sang buah hati tumbuh menjadi anak dengan emosi aman (emotionally secure), percaya diri, berprestasi secara akademik, dan mampu membangun relasi sosial yang baik. 

Selembar kertas undangan berkop nama sekolah tempat anak kita belajar sering kita terima dari anak kita sepulang sekolah. Kalau orang tua pulang kerja sudah larut malam, undangan itu hanya tergeletak begitu saja di atas meja. Jika anak kita peduli, ia akan memberikannya pada kita keesokan harinya sebelum berangkat sekolah. Tapi kalau cuek, masa bodoh, surat-surat itu nyaris tak pernah sampai ke tangan orang tua, padahal bisa saja ada informasi penting yang disampaikan sekolah pada orang tua.
Tapi malam itu, saat makan malam, tiba-tiba anak keduaku, Fadhlan (4,5 th) menyodorkan selembar undangan dari sekolahnya. Format dan bentuknya sama seperti undangan-undangan sebelumnya dari sekolah anak-anak. Tapi setelah saya baca isinya sangat berbeda. Sebuah ajakan dari sekolah agar para ayah bersedia meluangkan waktu sekitar 1-2 jam untuk mengajar anak-anak di kelas.
Wow ... Program kreatif dan inovatif dari Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) at-Taufiq, Kota Bogor ini bernama “Ayahku idolaku.” Pada surat pertama ini, dilengkapi dengan surat pernyataan kesediaan dari orang tua dan daftar hari/tanggal kapan orang tua bisa meluangkan waktunya. Sehingga, hari dan tanggalnya bisa menyesuaikan dengan jadwal kerja atau ada kesempatan untuk meminta izin tidak masuk kerja. Sepekan sebelum hari H, surat kedua datang memberitahukan jam mengajarnya sekaligus konfirmasi kepastian.
Pada awal tahun ajaran baru, sebelum program belajar mengajar dimulai, sekolah yang beralamat di bilangan Cimaggu Permai, Jl KH Sholeh Iskandar, Kota Bogor, Jawa Barat ini, sudah mengumpulkan orang tua siswa sesuai jenjang pendidikannya. Mulai dari TKIT, SDIT dan SMPIT. Pihak sekolah menjelaskan rencana pembelajaran dan program-program lainnya selama satu semester hingga satu tahun ke depan. Untuk TKIT, program “Ayahku idolaku” juga sudah dijelaskan pada saat itu.
Ayah yang hadir di kelas diberi kebebasan menyampaikan materi pembelajaran apa pun, asal positif dan sesuai dengan usianya. Misalnya, mengenalkan profesinya, mendongeng, game edukasi, eksperimen ringan, membuat kerajinan ringan, hingga bermain bersama anak-anak, dan materi lainnya.
Kebetulan, saat mengajar, saya berkolaborasi dengan dua ayah lainnya yang berprofesi sebagai pekerja tambang batu-bara dan guru. Saya pun memperkenalkan dunia jurnalistik dengan fisualisasi gambar. Anak-anak antusias menanyakan gambar-gambar yang muncul, seperti kamera, tustel, alat perekam, narasumber yang dikerubutin wartawan dan lainnya. Di tengah materi saya selingi game tebak gambar. Bagi yang bisa menjawab mendapat hadiah biskuit. Seru, anak-anak sangat bersemangat.
Ayah yang berprofesi sebagai pekarja tambang juga memperkenalkan profesinya dengan fisualisasi gambar dan menghadirkan miniatur eksafator pengeruk batu-bara. Anak-anak juga sangat antusias bertanya, bahkan berebut ingin mempraktikkan cara kerja eksafator mini itu. Sedangkan orang tua yang berprofesi sebagai guru menghadirkan eksperimen science ringan dengan alat-alat sederhana, yakni lilin dan balon, yang menggambarkan konsep udara, oksigen (O2) dan sejenisnya.
Tak terasa, waktu 2 jam yang disediakan seperti cepat berlalu, padahal anak-anak masih sangat antusias belajar dan bermain dengan ketiga guru dadakan ini. Akhirnya, permainan ini kami akhiri dengan memberikan bingkisan berupa biskuit dan minuman ringan pada semua anak. Semuanya ceria, semuanya bahagia. “Ayah-ayah, sekolah itu menyenangkan, apalagi kalau gurunya para ayah. Kapan-kapan datang lagi ke sekolah, ya, ayah?” pinta anak-anak.

Merekatkan Anak dengan Ayah
Program “Ayahku idolaku” merupakan salah satu program unggulan TKIT at- Taufiq, Bogor yang sudah berjalan lebih dari lima tahun terakhir. Berkat program ini dan beberapa program pembelajaran lainnya, TKIT at-Taufiq, Bogor selama tiga tahun berturut-turut berhasil meraih penghargaan sebagai TK terbaik se-Provinsi Jawa Barat. 
Ustazah Esih Susi Safitri, Wakil Kepala Sekolah TKIT at-Taufiq menuturkan, program ini bertujuan membangun hubungan baik antara anak didik dengan ayahnya. Selama ini, para ayah umumnya tak terlibat dalam proses pendidikan putra dan putrinya. Para ayah menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak-anak kepada istrinya. Dengan progran ini diharapkan akan membantu munculnya kedekatan hubungan antara ayah dengan putra-putrinya. Diharapkan, dengan kedekatan dan hubungan baik ini, bisa membantu anak-anak memiliki akhlak mulia dan prestasi baik di sekolah.
Pada tahun pelajaran 2015/2016 ini, TKIT at-Taufiq Bogor mengirim surat kepada setiap ayah yang berjumlah 144 orang. Dari jumlah itu, ada 67 ayah (sekitar 47%) yang melakukan konfirmasi dan bersedia mengajar di kelas masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan tiap bulan pada hari Jum’at pekan kedua. Setiap bulan direncanakan ada 2 – 3 ayah yang hadir di kelas masing-masing, sesuai dengan kelas dari siswa yang bersangkutan. “Alhamdulillah, dari tiga kelas pada satu jejang TK, biasa hadir 6 – 9 ayah,” tambah Ustazah Esih.
Pada tiap kehadiran, ayah diminta mengisi buku cerita tentang situasi kelas saat kegiatan berlangsung. Selain itu, ayah juga diminta menulis kesan dan pesan dari kegiatan tersebut. Dari beberapa kesan dan pesan yang ditulis ayah, umumnya menyambut positif program ini. Misalnya, ayah dari ananda Farraz menulis, “Ayahku idolaku merupakan kegiatan positif, bisa memotivasi anak dan ayah sekaligus.” Ayah yang lainnya menulis, “Mengajar adalah pekerjaan menyenangkan. Kalau bisa frekuensinya ditambah, tiap semester ada program ini.”

Belajar dari Negeri Kanguru
          Program serupa, tapi tak sama yang bertujuan membangun kedekatan dan hubungan baik antara anak-anak dengan ayahnya juga banyak dipraktikkan oleh sekolah-sekolah di negara maju. Salah satunya di Australia. Sebuah sekolah untuk anak usia dini yang bernama Kindie School di Melbourne, Australia, memiliki beragam program unik dan terlihat aneh bagi kebanyakan orang Indonesia.
Ketika ada orang Indonesia yang bekerja di Melbourne dan menyekolahkan anaknya di sekolah ini, mereka pada awalnya merasa aneh dan tak percaya. Tapi setelah berjalan dan mengikuti programnya, para orang tua asal Indonesia ini, khususnya para ayah baru terkagum-kagum dan merindukan ada sekolah serupa di tanah air.
Salah satu program yang dikagumi itu adalah Father’s Day. Pada program ini, sekolah mengundang semua ayah hadir di sekolah. Serunya, kegiatan ini diadakan mulai jam 6 malam. Waktu yang tepat, karena jika diadakan siang hari pada hari kerja, semua ayah sedang sibuk bekerja. Pemilihan waktu ini, bisa menjadi referensi bagi sekolah-sekolah di Indonesia, mengundang para ayah pada malam hari. Meski bisa saja orang Indonesia beralasan, pulang kerja macet, cape dan sejenisnya, sehingga hanya segelintir ayah yang bisa hadir.
Salah satu tema yang diajukan Kindie School ini cukup menarik, yakni Pajamas Party.  Akhirnya, para ayah yang datang hampir semuanya mengenakan piyama menemani anaknya yang juga berpiyama. Kegiatan yang dijalankan sebenanya sederhana saja. Sang ayah hanya sekadar menemani anaknya membaca buku, mendongeng, menyusun puzzle, bermain musik, melukis, menggambar, menyanyi dan lainnya. Menurut umumnya kita, ini pekerjaan sepele.
Betul sepele dan remeh-temeh. Tapi, melalui kegiatan yang terkesan sepele inilah sekolah sedang mengajarkan tidak hanya pada anak-anak, juga kepada orang tua, khususnya para ayah, bagaimana cara membangun komunikasi dan hubungan yang efektif dengan anak-anak usia TK. Bagi kita di Indonesia, apalagi bagi TKIT, pola-pola seperti ini bisa diterapkan dengan menambahkan materi pendidikan akhlak, mengajarkan membaca dan atau menghafal al-Qur’an, mengajarkan shalat dan praktik-praktik ibadah lainnya.
Bagi banyak Sekolah Islam Terpadu di Indonesia, termasuk Sekolah Islam Terpadu at-Taufiq, Bogor, pola-pola pembelajaran seperti di Australia itu sebenanya sudah diterapkan. Misalnya, dengan mengadakan kegiatan Malam Bina Iman, Ibadah dan Taqwa (MABIT), yang diadakan satu malam sampai dua atau tiga malam. Yang jarang dilakukan adalah MABIT bersama ayah. Sekolah at-Taufiq saja  baru mengadakan MABIT bersama ayah pada tahun ajaran ini untuk jenjang pendidikan SD. TK dan SMP belum menyelenggarakan program ini.
Kembali ke Pajamas Party  ala Australia. Artinya, orang-orang luar, yang note bene tidak mengenal ajaran Islam, tidak mengenal anjuran al-Qur’an tentang pentingnya ayah terlibat dalam pendidikan anak-anak, sudah mempraktikan kegiatan yang memiliki dampak luar biasa bagi perkembangan mental dan karakter anak, khususnya dalam membangun hubungan dengan ayah.
Acara sederhana Pajamas Party  di Kindie School, Melbourne ini, juga  mengandung pembelajaran tentang sikap dan persepsi bahwa mengajarkan berbagai hal, nilai-nilai, akhlak, agama, science, hingga keterampilan hidup pada anak, tidak selamanya harus berlangsung formal di sekolah, tapi juga bisa dilakukan di rumah atau di mana saja dalam bentuk kegiatan yang lebih kecil.
Jadi, kegiatan-kegiatan seperti di atas sungguh akan berdampak positif bagi perkembangan karakter dan potensi anak, termasuk menjadi bahan pembelajaran bagi orang tua. Selain itu, komunikasi antara orang tua dengan sekolah juga akan terbangun positif. Mengajarkan kepada orang tua bagaimana cara mendampingi anak belajar di rumah, menunjukkan perkembangan anak di kelas, dan mendekatkan hubungan antara satu orang tua dengan orang tua lainnya atau silaturahim.

Emotionally Secure
Berdasarkan studi dan penelitian yang mereka jalankan, para psikolog juga menyakini bahwa ayah memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan anak. Psikolog Klinis dari Los Angeles, Ditta M Oliker PhD (2011) menyatakan, anak yang memiliki relasi intensif dengan ayahnya sejak lahir dan terus terjalin efektif hingga usia sekolah akan tumbuh menjadi anak dengan emosi yang aman (emotionally secure), percaya diri dalam mengeksplorasi dunia sekitar dan ketika dewasa mampu membangun relasi sosial yang baik.
Pakar psikolog lainnya, Rosenberg, Jeffrey dan Wilcox (2006) juga mengungkapkan, ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak sejak bayi hingga usia sekolah akan mendorong anak menjadi lebih berprestasi secara akademis pada usia sekolah. Dan, pada saat anak memasuki dunia karir, anak akan mampu menentukan pilihan karirnya secara tepat.

Al-Qur’an  
Para nabi, sahabat, ulama dan salafushalih juga tidak melemparkan tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak-anak pada istri-istri mereka, apalagi menitipkannya pada orang lain. Begitu intensifnya peran ayah, hingga menjelang sakaratul maut pun, ayah yang baik akan memastikan sekali lagi sukses tidaknya dalam mendidik sang buah hati dengan mengajukan pertanyaan: “Apa yang akan kamu sembah sepeninggalku, Nak?”
Ternyata, proses pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga yang digambarkan al-Qur’an juga dilakukan oleh ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret proses ini dilakukan oleh ibu, kecuali perintah menyusui, misalnya surat al-Baqarah (2) ayat 233 dan ath-Thalaaq (65) ayat 6.
Tulisan ini tak menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang bersifat umum, untuk laki-laki dan perempuan serta tidak bermaksud mengesampingkan peran utama ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Tulisan ini semata-mata untuk mendorong para ayah agar lebih peduli pada proses pendidikan dan pengasuhan buah hatinya dan jangan membebankan 100% pada istri, guru, ustadz, sekolah atau pesantren. 
Inilah beberapa rangkaian ayat al-Qur’an yang menerangkan proses pendidikan dan pengasuhan yang dilakukan para ayah: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”  (QS Luqman 31: 13)
Berikutnya adalah, Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam."  (QS al-Baqarah 2: 132)   
Allah SWT juga berfirman: “Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain. Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri."  (QS Yusuf 12: 67)
Rasulullah Saw juga bersabda, “Dari Jubair bin Samurah ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, sungguh seseorang (ayah) yang mendidik anaknya adalah lebih baik daripada ia bersedekah satu sha.” (HR Tirmidzi) Nabi juga melengkapinya dengan keteladanan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak. Bahkan, ketika Nabi Saw sedang disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), ia tak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya yang masih anak-anak, Hasan dan Husain. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik. Wallahu’alam bish shawab.
Dwi Hardianto
Diolah dari berbagai sumber