Kamis, 05 November 2015

Ayah Sebagai 'Kepala Sekolah"






Kewajiban Ayah sebagai "Kepala Sekolah"

Setidaknya ada empat kewajiban ayah sebagai kepala sekolah dalam mendidik keluarga dan anak-anak. Membuat suasana aman dan nyaman, merumuskan visi dan misi, melakukan evaluasi, dan menegakkan aturan. Jika empat kewajiban ini dijalankan ayah, insya Allah target pengasuhan dan pendidikan akan tercapai.   

Dogma yang menyatakan Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak yang kemudian dilengkapi oleh Ustadz Bendri Jaisyurrahman menjadi Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak dan Ayah adalah Kepala Sekolahnya, menempatkan posisi ayah dan ibu menjadi setara dalam mendidik anak di rumah. Bukan lagi menjadi tanggung jawab ibu semata. Karenanya, ketika ada anak yang berperilaku buruk, tidak lagi kita berteriak, “Ibunya mana nih? Bisa nggak sih ngurus anak?”
Persoalannya, saat ini, banyak madrasah yang tak memiliki kepala sekolah. Ayah yang seharusnya menjalankan tugas ini tak memahami peran dan ilmunya. Tetap saja, istri mengurus anak seorang diri, tanpa orientasi, arahan dan bimbingan dari kepala sekolah. Akibatnya, mengasuh dan mendidik anak sekadar menghabiskan waktu menunggu suami pulang kerja sambil berkeluh kesah.  “Mengasuh anak kok susah banget, ya?” Mengasuh anak memang susah, karena hadiahnya adalah surga.
Karena itu, sudah seharusnya ayah menjalankan fungsi sebagai kepala sekolah di rumah. Lantas, bagaimana caranya? Seperti umumnya kepala sekolah, meski jarang berinteraksi langsung dengan anak-anak, tapi tetap menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai kepala sekolah. Apa saja tugas kepala sekolah? Minimal ada 4 tugas kepala sekolah yang menjadi tanggung jawab ayah demi terwujudnya proses pengasuhan dan pendidikan anak yang berkualitas, yakni: 

1.   Membuat Suasana Aman dan Nyaman
          Kunci utama yang harus diupayakan oleh ayah agar madrasah di rumah aman dan nyaman adalah membahagiakan pasangan. Kita sepakat, dalam konteks pengasuhan, sekolah pertama dan terbaik bagi anak adalah ibu. Tapi di luar itu, peran ibu sebagai sekolah juga harus mampu memberikan rasa nyaman bagi anak agar betah berlama-lama di dekatnya. Tidak keluyuran ke luar rumah. Ibu menjadi tempat curhat saat anak resah. Dan, yang utama memberikan bekal pendidikan pada anak agar tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Semua hal di atas bisa dipenuhi oleh istri, jika peran kepala sekolah yang menjadi tugas ayah berjalan maksimal. Sebagai kepala sekolah ayah bertanggung jawab menyamankan sekolah. Artinya, ayah harus mampu membahagiakan istri dan anak-anak. Sulit bagi istri membuat anak betah di sisinya jika ia tak mendapatkan dukungan. Sehingga, menjadi mudah stress, tertekan, hanyut dalam perasaannya sendiri, merasa lelah, bosan, dan lainnya.
Istri yang tak nyaman biasanya gampang marah dan emosinya meledak-ledak. Akibatnya, anak lebih betah nongkrong di mall, warnet atau tempat hiburan lainnya. Malas pulang bertemu ibunya, karena ibunya berubah menjadi sosok yang menyeramkan bagi jiwa anak. Inilah gejala munculnya mother distrust di kalangan anak-anak saat ini, akibat ibu yang tak lagi memberikan kenyamanan bagi mereka.
Semua ini karena peran ayah sebagai kepala sekolah hilang. Tanggung jawab menciptakan suasana nyaman ada di tangan ayah. Bagaimana caranya? Ayah bisa memulai pembenahan dengan memperhatikan kebutuhan batin sang istri. Pada hakikatnya, istri bisa memberikan rasa nyaman pada anak-anak jika kebutuhan batinnya terpenuhi. Karenanya, ayah harus memberikan ruang bagi istri untuk berbicara mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Sebuah penelitian menyebutkan, wanita yang sehat jiwanya minimal mengeluarkan 20.000 kata per hari.
Istri yang jarang diajak bicara oleh suaminya, bahasa tubuhnya tak menyenangkan. Menyusui anak resah, tak bisa mendengarkan curhatan anak, tak sabar saat berbicara karena emosi tak terkontrol. Akibatnya, anak mendapatkan “sampah emosi” ibunya. Anak pun memilih menjauh dari ibunya. Inilah petaka pertama dalam pengasuhan anak, ketika ibu tak lagi dirindukan oleh buah hatinya.
Maka, kewajiban ayah adalah memberikan waktu dan ruang bagi ibu untuk bicara setiap hari sebagai upaya menyehatkan jiwanya. Dengarkanlah keluh kesahnya. Jika istri mau marah-marah dan menangis silakan tumpahkan semuanya ke suami, jangan ke anak-anak, apalagi orang lain. Biarkan istri membuang sampah emosinya ke suami agar ia bisa memberi cinta dan kasih sayangnya pada anak-anak.
Setelah memenuhi kebutuhan batin, suami juga harus mampu memenuhi kebutuhan fisiknya, sehingga istri menjadi sehat jasmani dan ruhaninya. Istri yang jiwanya sehat insya Allah mampu menjalankan tugasnya sebagai madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Ia akan tahan berjam-jam mendengarkan keluh kesah buah hatinya. Ia mudah memberikan maaf dan senyuman saat si kecil melakukan kesalahan, sehingga anak pun selalu rindu di dekatnya. Kesimpulannya, bahagiakan istri kita, karena ia merupakan sekolah pertama anak-anak kita.  

2.   Merumuskan Visi dan Misi 
Mengasuh anak tak bisa pasrah mengikuti aliran air. Kalaupun mau ikuti aliran air harus dipastikan ujungnya ke mana. Ke danau? Laut? Kolam tetangga? Atau selokan? Karena itu, sebagai kepala sekolah, ayah harus merumuskan garis-garis besar pengasuhan dan pendidikan di rumah agar istri bisa mendidik sesuai tujuan. Garis-garis besar pengasuhan dan pendidikan inilah yang tertuang dalam visi misi.
Kepala sekolahlah yang bertugas merumuskan sekaligus mewujudkan visi misi ini. Jadi, meski ayah sibuk bekerja di luar rumah, ayah tetap bertugas menentukan visi dan misi pengasuhan. Sehingga, ibu sebagai madrasahnya tahu apa yang mesti dilakukan. Mau dibawa ke mana arah pendidikan anak tergantung pada visi misi sang ayah. Di sini akan terjalin kerjasama antara ayah dan istri dalam proses mengasuh dan mendidik bukan hanya saat ‘membuatnya’ saja.
Tapi faktanya, saat ini banyak ibu yang tak mengetahui bagaimana dan harus melakukan apa dalam mengasuh anak? Karena ayah tak memberikan panduan. Jadilah ibu mengasuh anak seperti falsafah “mengalir bagaikan air.” Tak memiliki perencanaan. Padahal, jika memiliki panduan, tugas ibu menjadi jelas setiap harinya.
Belajar dari Nabi Ibrahim, meski ia berada di Palestina sedangkan istri dan anaknya di kota Makkan, tapi Nabi Ibrahim telah merumuskan visi dan misi pendidikan anaknya. Semua ini tertuang dalam doa yang terangkai dalam al-Qur’an Surah Ibrahim (14) ayat 35–37. Berdasarkan ayat di atas, setidaknya ada 4 visi Nabi Ibrahim sebagai ayah dalam mendidik anak, yakni menguatkan aqidah, membiasakan ibadah, menanamkan akhlak, dan menguasai life skill  (keterampilan).
Berangkat dari visi misi inilah terbukti keturunan Ibrahim adalah manusia-manusia pilihan, mulai dari Ismail, Ishaq, Yaqub, Yusuf hingga Nabi Muhammad Saw. Ibrahim pun diberi gelar “Ayah Para Nabi.” Allah SWT juga memuji keluarga Ibrahim sebagai keluarga terbaik (QS Ali Imran 3: 33). Lagi-lagi, semuanya bermula dari visi misi sang ayah.

3.      Melakukan Evaluasi 
Tugas ayah berikutnya adalah evaluasi pengasuhan. Jangan bosan mengevaluasi pengasuhan anak-anak yang dilakukan berdasarkan visi orang tua. Sulit rasanya mengevaluasi jika tak memiliki visi misi. Bukannya evaluasi malah jadi ilusi. Terjadi saling nyalahkan, “gara-gara elu sih!” Karenanya, rumuskan visi kita sebagai orang tua. Inti dari visi pengasuhan ada dua, yakni membebaskan diri sendiri, istri dan anak-anak dari api neraka dan membawanya ke surga.
Karena surga menjadi tujuan, maka orientasi akhirat harus menjadi standar evaluasi utama dalam pengasuhan. Bukan lagi sekadar bagaimana anak lulus UN dengan nilai tinggi, jago main biola, jago bahasa asing, masuk universitas ternama, dan jadi orang kaya. Bukan itu. Inti evaluasi adalah sejauh mana anak menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya.
Nabi Ya’qub as mencontohkan. Saat ajal akan menjemputnya, ia evaluasi pengasuhan anaknya dengan bertanya, “Apa yang kalian sembah setelah ayah wafat, Nak?” Nabi Ya’qub tidak bertanya, “Apa rencana bisnis mu sepeninggalan ayah, Nak?” atau “Berapa hektar kebun yang akan kamu buka sepeninggalan ayah, Nak?” Tidak sama sekali. Sebab, pertanyaan tentang siapa yang akan disembah adalah inti dari pengasuhan dalam Islam. Ini menunjukkan, agama merupakan standar utama yang harus menjadi prioritas dalam evaluasi pengasuhan.
Lantas, bagaimana cara kita mengetahui sukses atau gagalnya visi pengasuhan anak-anak? Kita bisa belajar pada Ibnu Jarir ath-Thobari. Ia mengatakan, “Dialog antar rakyat menunjukkan visi asli pemimpinnya. Hal ini ia sandarkan pada tiga khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, yakni Sulaiman bin Abdul Malik, Walid bin Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
Pada era Sulaiman, pembicaraan rakyat selalu dimulai dengan kalimat “Anak sudah berapa? Istri kok masih satu?” Sebagian besar tema tentang keluarga. Setelah ditelusuri, Sulaiman bin Abdul Malik memang menjadikan keluarga sebagai program utama, maka rakyatnya pun terinspirasi membicarakan tentang keluarga.
Pada zaman Walid bin Abdul Malik, obrolan rakyat berubah. “Rumah sudah berapa? Kebun berapa hektar? Perdaganganmu sudah sampai negara mana?” Dan, pertanyaan sejenis sekitar kekayaan. Setelah ditelusuri, Walid bin Abdul Malik memang dikenal sebagai pemimpin yang concern pada masalah kekayaan dan pembangunan. Rakyat pun terpengaruh oleh visinya.
Lihatlah pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Setiap obrolan rakyat selalu tentang masalah agama. “Hafalan Qur’anmu sudah berapa juz? Apakah kamu puasa hari ini? Nanti malam bangunkan saya qiyamulail ya? Dan lainnya. Ini terjadi karena Umar memang pemimpin yang sangat perhatian pada urusan akhirat dan menjadikan agama sebagai bidang pembangunan utama.
Kita bisa ambil pelajaran dari tiga kekhalifaah di atas. Dalam konteks keluarga, apa yang sering dibicarakan anak menunjukkan visi asli kita sebagai orang tuanya. Karena anak ibarat rakyat dan orang tua adalah pemimpinnya. Jika anak lebih banyak berbicara makanan, mungkin karena ayahnya penikmat wisata kuliner. Jika anak lebih banyak membicarakan isi tabungan, lagi-lagi karena ayahnya dikenal sebagai pemburu kekayaan, dan seterusnya.
Intinya, dengarkan pembicaraan anak dari sekarang. Dari lisan mereka kita bisa mengevaluasi pengasuhan yang sudah kita jalankan. Jika mereka jarang membicarakan masalah agama, itu tandanya pengasuhan belum sesuai misi dan visi. Membawa anak dan istri kumpul di surga bisa-bisa hanya impian belaka. Jika ini terjadi, jangan ragu untuk mengenalkan visi misi ayah secara terbuka pada anak.
Bagaimana caranya? Anda bisa mengatakan pada anak-anak dan istri, “Ayah  ingin kita semua masuk surga bersama-sama, ayah tak ingin hanya ayah saja, atau hanya ayah dan ibu saja yang masuk surga, sementara kalian tidak. Ayah ingin kita semua satu keluarga masuk surga bersama.” Intinya, teruslah mensosialisasikan visi surga kepada anak kita, kelak mereka pun akan menyadari keseriusan kita dalam mengasuh mereka. Insya Allah.  

4.   Menegakkan Aturan
Menegakkan aturan dalam keluarga yang sudah disepakati bersama juga menjadi tugas utama seorang ayah, bukan ibu. Jika ayah tak menjalankan tugas ini, pada dasarnya ayah telah menzhalimi istri dan anak-anaknya. Kok bisa? Karena ayah membiarkan anak dengan kesalahannya, berarti membiarkan anaknya terjerumus ke dalam jalan menuju neraka, bukan surga.
Ketika ayah acuh dengan kesalahan anak-anak, biasanya istri tampil mengambil peran. Maka, ibu yang seharusnya berfungsi memberikan rasa nyaman berubah menjadi ibu yang memprotek anaknya. Karena takut anak-anak lebih banyak berbuat kesalahan, sang ibu pun membuat sederet larangan baru pada anak-anak. Akibatnya, anak-anak pun menjauh dari ibunya. Artinya, ayah yang tak peduli dengan penegakan peraturan sama artinya dengan mencabut fungsi dasar ibu sebagai pemberi rasa nyaman bagi anak-anak. Apalagi jika ayah ikut menyalahkan istrinya, lengkaplah predikat ibu sebagai musuh bagi anak. Ingat, petaka pertama pengasuhan adalah ketika ibu tak lagi dicintai dan dirindukan buah hatinya.
Maka, ayah memang harus pulang, terlibat dalam pengasuhan. Tunjukkanlah otoritas dan ketegasan. Jangan biarkan istri Anda yang mengambil alih fungsi ini. Biarlah anak merasa ayahnya tegas atau galak. Karena memang inilah the real father. Asalkan anak nyaman dengan ibunya, ini jauh lebih baik, ketimbang anak menjauh dari ibunya. Saat anak protes dengan keputusan ayah, ibu bisa menenangkan dan menguatkannya. 
Ini yang namanya keseimbangan dalam pengasuhan. Ayah sebagai pemilik otoritas aturan bertugas menjaga anak dari pengaruh buruk lingkungan. Ibu sebagai pemberi rasa nyaman menjadi daya pikat anak untuk selalu pulang ke rumah. Tentu saja, ayah yang tegas juga harus diimbangi dengan kelembutan dan kebaikan pada sisi lain agar anak tidak trauma. Begitu juga ibu, sesekali boleh bawel asal jangan kebablasan. Jika ibu ingin menegakkan aturan, cukup dengan kalimat “Ingat nggak, ayah bilang apa?” Anak tahu bahwa aturan bukan dari ibunya tapi dari ayah. Jika fungsi ayah serius dijalani, insya Allah tak ada lagi kalimat resah dan gelisah dari ibu karena ayah telah kembali.
Dwi Hardianto
Diolah dari berbagai sumber

1 komentar:

  1. Assalamualaikum

    Syukron sudah bikin tulisan yang mencerahkan
    Izin copaste untuk ditaruh diberanda IG dengan menyertakan sumber dari sini kak

    BalasHapus