Kewajiban Ayah sebagai "Kepala Sekolah"
Setidaknya
ada empat kewajiban ayah sebagai ”kepala sekolah” dalam mendidik keluarga dan anak-anak. Membuat
suasana aman dan nyaman, merumuskan visi dan misi,
melakukan evaluasi, dan menegakkan aturan. Jika empat kewajiban ini dijalankan
ayah, insya Allah target pengasuhan dan pendidikan akan tercapai.
Dogma
yang menyatakan Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak yang kemudian dilengkapi oleh
Ustadz Bendri Jaisyurrahman menjadi Ibu Madrasah Pertama Seorang Anak dan Ayah
adalah Kepala Sekolahnya, menempatkan posisi ayah dan ibu menjadi setara dalam
mendidik anak di rumah. Bukan lagi menjadi
tanggung jawab ibu semata. Karenanya, ketika ada anak
yang berperilaku buruk, tidak lagi kita berteriak, “Ibunya mana nih? Bisa nggak
sih ngurus anak?”
Persoalannya,
saat ini, banyak madrasah yang tak memiliki kepala sekolah. Ayah yang
seharusnya menjalankan tugas ini tak memahami peran dan ilmunya. Tetap saja,
istri mengurus anak seorang diri, tanpa orientasi, arahan dan bimbingan dari
kepala sekolah. Akibatnya, mengasuh dan mendidik anak sekadar menghabiskan
waktu menunggu suami pulang kerja sambil berkeluh kesah. “Mengasuh anak kok susah banget, ya?” Mengasuh
anak memang susah, karena hadiahnya adalah surga.
Karena
itu, sudah seharusnya ayah menjalankan fungsi sebagai kepala sekolah di rumah. Lantas,
bagaimana caranya? Seperti umumnya kepala sekolah, meski jarang berinteraksi langsung
dengan anak-anak, tapi tetap menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai kepala
sekolah. Apa saja tugas kepala sekolah? Minimal ada 4 tugas kepala sekolah yang
menjadi tanggung jawab ayah demi terwujudnya proses pengasuhan dan pendidikan anak
yang berkualitas, yakni:
1. Membuat Suasana Aman dan Nyaman
Kunci
utama yang harus diupayakan oleh ayah agar madrasah di rumah aman dan nyaman
adalah membahagiakan pasangan. Kita sepakat, dalam konteks pengasuhan, sekolah
pertama dan terbaik bagi anak adalah ibu. Tapi di luar itu, peran ibu sebagai
sekolah juga harus mampu memberikan rasa nyaman bagi anak agar betah
berlama-lama di dekatnya. Tidak keluyuran ke luar rumah. Ibu menjadi tempat
curhat saat anak resah. Dan, yang utama memberikan bekal pendidikan pada anak
agar tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Semua hal di atas bisa dipenuhi oleh istri,
jika peran kepala sekolah yang menjadi tugas ayah berjalan maksimal. Sebagai
kepala sekolah ayah bertanggung jawab menyamankan sekolah. Artinya, ayah harus
mampu membahagiakan istri dan anak-anak. Sulit bagi istri membuat anak betah di
sisinya jika ia tak mendapatkan dukungan. Sehingga, menjadi mudah stress,
tertekan, hanyut dalam perasaannya sendiri, merasa lelah, bosan, dan lainnya.
Istri yang tak nyaman biasanya
gampang marah dan emosinya meledak-ledak. Akibatnya, anak lebih betah nongkrong
di mall, warnet atau tempat hiburan lainnya. Malas pulang bertemu ibunya,
karena ibunya berubah menjadi sosok yang menyeramkan bagi jiwa anak. Inilah
gejala munculnya mother distrust di
kalangan anak-anak saat ini, akibat ibu yang tak lagi memberikan kenyamanan
bagi mereka.
Semua ini karena peran ayah sebagai
kepala sekolah hilang. Tanggung jawab
menciptakan suasana nyaman ada di tangan ayah. Bagaimana caranya? Ayah bisa
memulai pembenahan dengan memperhatikan kebutuhan batin sang istri. Pada
hakikatnya, istri bisa memberikan rasa nyaman pada anak-anak jika kebutuhan
batinnya terpenuhi. Karenanya, ayah harus memberikan ruang bagi istri untuk berbicara
mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Sebuah penelitian menyebutkan, wanita
yang sehat jiwanya minimal mengeluarkan 20.000 kata per hari.
Istri yang jarang diajak bicara oleh suaminya,
bahasa tubuhnya tak menyenangkan. Menyusui anak resah, tak bisa mendengarkan
curhatan anak, tak sabar saat berbicara karena emosi tak terkontrol. Akibatnya,
anak mendapatkan “sampah emosi” ibunya. Anak pun memilih menjauh dari ibunya. Inilah petaka pertama
dalam pengasuhan anak, ketika ibu tak lagi dirindukan oleh buah hatinya.
Maka, kewajiban ayah adalah
memberikan waktu dan ruang bagi ibu untuk bicara setiap hari sebagai upaya
menyehatkan jiwanya. Dengarkanlah keluh kesahnya. Jika istri mau marah-marah
dan menangis silakan tumpahkan semuanya ke suami, jangan ke anak-anak, apalagi
orang lain. Biarkan istri membuang sampah emosinya ke suami agar ia bisa
memberi cinta dan kasih sayangnya pada anak-anak.
Setelah memenuhi kebutuhan batin,
suami juga harus mampu memenuhi kebutuhan fisiknya, sehingga istri menjadi
sehat jasmani dan ruhaninya. Istri yang jiwanya sehat insya Allah mampu menjalankan
tugasnya sebagai madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Ia akan tahan berjam-jam
mendengarkan keluh kesah buah hatinya. Ia mudah memberikan maaf dan senyuman
saat si kecil melakukan kesalahan, sehingga anak pun selalu rindu di dekatnya.
Kesimpulannya, bahagiakan istri kita, karena ia merupakan sekolah pertama
anak-anak kita.
2.
Merumuskan Visi dan Misi
Mengasuh anak tak bisa pasrah
mengikuti aliran air. Kalaupun mau ikuti aliran air harus dipastikan ujungnya
ke mana. Ke danau? Laut? Kolam tetangga? Atau selokan? Karena itu, sebagai
kepala sekolah, ayah harus merumuskan garis-garis besar pengasuhan dan
pendidikan di rumah agar istri bisa mendidik sesuai tujuan. Garis-garis besar pengasuhan
dan pendidikan inilah yang tertuang dalam visi misi.
Kepala sekolahlah yang bertugas merumuskan
sekaligus mewujudkan visi misi ini. Jadi, meski ayah sibuk bekerja di luar
rumah, ayah tetap bertugas menentukan visi dan misi pengasuhan. Sehingga, ibu
sebagai madrasahnya tahu apa yang mesti dilakukan. Mau dibawa ke mana arah
pendidikan anak tergantung pada visi misi sang ayah. Di sini akan terjalin
kerjasama antara ayah dan istri dalam proses mengasuh dan mendidik bukan hanya
saat ‘membuatnya’ saja.
Tapi faktanya, saat ini banyak ibu
yang tak mengetahui bagaimana dan harus melakukan apa dalam mengasuh anak? Karena
ayah tak memberikan panduan. Jadilah ibu mengasuh anak seperti falsafah
“mengalir bagaikan air.” Tak memiliki perencanaan. Padahal, jika memiliki panduan,
tugas ibu menjadi jelas setiap harinya.
Belajar dari Nabi Ibrahim, meski ia
berada di Palestina sedangkan istri dan anaknya di kota Makkan, tapi Nabi
Ibrahim telah merumuskan visi dan misi pendidikan anaknya. Semua ini
tertuang dalam doa yang terangkai dalam al-Qur’an Surah Ibrahim (14) ayat 35–37. Berdasarkan
ayat di atas, setidaknya ada 4 visi Nabi Ibrahim sebagai ayah dalam mendidik
anak, yakni menguatkan aqidah, membiasakan ibadah, menanamkan akhlak, dan menguasai
life skill (keterampilan).
Berangkat dari visi misi inilah
terbukti keturunan Ibrahim adalah manusia-manusia pilihan, mulai dari Ismail, Ishaq,
Yaqub, Yusuf hingga Nabi Muhammad Saw. Ibrahim pun diberi gelar “Ayah Para Nabi.” Allah SWT
juga memuji keluarga Ibrahim sebagai keluarga terbaik (QS Ali Imran 3: 33).
Lagi-lagi, semuanya bermula dari visi misi sang ayah.
3.
Melakukan Evaluasi
Tugas ayah berikutnya adalah evaluasi
pengasuhan. Jangan bosan mengevaluasi pengasuhan anak-anak yang dilakukan berdasarkan
visi orang tua. Sulit
rasanya mengevaluasi jika tak memiliki visi misi. Bukannya evaluasi malah jadi
ilusi. Terjadi saling nyalahkan, “gara-gara elu sih!” Karenanya, rumuskan visi
kita sebagai orang tua.
Inti dari visi pengasuhan ada dua, yakni membebaskan diri sendiri, istri dan
anak-anak dari api neraka dan membawanya ke surga.
Karena surga menjadi tujuan, maka orientasi
akhirat harus menjadi standar evaluasi utama dalam pengasuhan. Bukan lagi sekadar
bagaimana anak lulus UN dengan nilai tinggi, jago main biola, jago bahasa
asing, masuk universitas ternama, dan jadi orang kaya. Bukan itu. Inti evaluasi
adalah sejauh mana anak menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya.
Nabi Ya’qub as mencontohkan. Saat
ajal akan menjemputnya, ia evaluasi pengasuhan anaknya dengan bertanya, “Apa
yang kalian sembah setelah ayah wafat, Nak?” Nabi Ya’qub tidak bertanya, “Apa
rencana bisnis mu sepeninggalan ayah, Nak?” atau “Berapa hektar kebun yang akan
kamu buka sepeninggalan ayah, Nak?” Tidak sama sekali. Sebab, pertanyaan
tentang siapa yang akan disembah adalah inti dari pengasuhan dalam Islam. Ini
menunjukkan, agama merupakan standar utama yang harus menjadi prioritas dalam evaluasi
pengasuhan.
Lantas, bagaimana cara kita mengetahui
sukses atau gagalnya visi pengasuhan anak-anak? Kita bisa belajar pada Ibnu
Jarir ath-Thobari. Ia mengatakan, “Dialog antar
rakyat menunjukkan visi asli pemimpinnya. Hal ini ia sandarkan pada tiga
khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, yakni Sulaiman bin Abdul Malik, Walid bin
Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
Pada era Sulaiman, pembicaraan rakyat
selalu dimulai dengan kalimat “Anak sudah berapa? Istri kok
masih satu?” Sebagian besar tema tentang keluarga. Setelah ditelusuri, Sulaiman
bin Abdul Malik memang menjadikan keluarga sebagai program utama, maka
rakyatnya pun terinspirasi membicarakan tentang keluarga.
Pada zaman Walid bin Abdul Malik,
obrolan rakyat berubah. “Rumah sudah
berapa? Kebun berapa hektar? Perdaganganmu sudah sampai negara mana?” Dan,
pertanyaan sejenis sekitar kekayaan. Setelah ditelusuri, Walid bin Abdul Malik
memang dikenal sebagai pemimpin yang concern
pada masalah kekayaan dan pembangunan. Rakyat pun terpengaruh oleh visinya.
Lihatlah pada zaman Umar bin Abdul
Aziz. Setiap obrolan rakyat selalu tentang masalah agama. “Hafalan Qur’anmu
sudah berapa juz?
Apakah kamu puasa hari ini? Nanti malam bangunkan saya qiyamulail ya? Dan lainnya. Ini terjadi karena Umar memang pemimpin
yang sangat perhatian pada urusan akhirat dan menjadikan agama sebagai bidang
pembangunan utama.
Kita bisa ambil pelajaran dari tiga
kekhalifaah di atas. Dalam konteks keluarga, apa yang sering dibicarakan anak
menunjukkan visi asli kita sebagai orang tuanya.
Karena anak ibarat rakyat dan orang tua
adalah pemimpinnya. Jika anak lebih banyak berbicara makanan, mungkin karena
ayahnya penikmat wisata kuliner. Jika anak lebih banyak membicarakan isi
tabungan, lagi-lagi karena ayahnya dikenal sebagai pemburu kekayaan, dan
seterusnya.
Intinya, dengarkan pembicaraan anak
dari sekarang. Dari lisan mereka kita bisa mengevaluasi pengasuhan yang
sudah kita jalankan. Jika mereka jarang membicarakan masalah agama, itu tandanya
pengasuhan belum sesuai misi dan visi. Membawa anak dan istri kumpul di surga
bisa-bisa hanya impian belaka. Jika ini terjadi, jangan ragu untuk mengenalkan visi
misi ayah secara terbuka pada anak.
Bagaimana caranya? Anda bisa mengatakan
pada anak-anak dan istri, “Ayah ingin kita
semua masuk surga bersama-sama, ayah tak ingin hanya ayah saja, atau hanya ayah
dan ibu saja yang masuk surga, sementara kalian tidak. Ayah ingin kita semua
satu keluarga masuk surga bersama.” Intinya, teruslah mensosialisasikan visi
surga kepada anak kita, kelak mereka pun akan menyadari keseriusan kita dalam
mengasuh mereka. Insya Allah.
4. Menegakkan
Aturan
Menegakkan aturan dalam keluarga yang
sudah disepakati bersama juga menjadi tugas utama seorang ayah, bukan ibu. Jika
ayah tak menjalankan tugas ini, pada dasarnya ayah telah menzhalimi istri dan
anak-anaknya. Kok bisa? Karena ayah membiarkan anak dengan kesalahannya,
berarti membiarkan anaknya terjerumus ke dalam jalan menuju neraka, bukan
surga.
Ketika ayah acuh dengan kesalahan
anak-anak, biasanya istri tampil mengambil peran. Maka, ibu yang seharusnya
berfungsi memberikan rasa nyaman berubah menjadi ibu yang memprotek anaknya.
Karena takut anak-anak lebih banyak berbuat kesalahan, sang ibu pun membuat
sederet larangan baru pada anak-anak. Akibatnya, anak-anak pun menjauh dari
ibunya. Artinya, ayah yang tak peduli dengan penegakan peraturan sama artinya
dengan mencabut fungsi dasar ibu sebagai pemberi rasa nyaman bagi anak-anak.
Apalagi jika ayah ikut menyalahkan istrinya, lengkaplah predikat ibu sebagai “musuh” bagi anak. Ingat, petaka pertama
pengasuhan adalah ketika ibu tak lagi dicintai dan dirindukan buah hatinya.
Maka, ayah memang harus pulang, terlibat
dalam pengasuhan. Tunjukkanlah otoritas dan ketegasan. Jangan biarkan istri
Anda yang mengambil alih fungsi ini. Biarlah anak merasa ayahnya tegas atau
galak. Karena memang inilah the real father. Asalkan anak nyaman dengan
ibunya, ini jauh lebih baik, ketimbang anak menjauh dari ibunya. Saat anak protes
dengan keputusan ayah, ibu bisa menenangkan dan menguatkannya.
Ini yang namanya keseimbangan dalam
pengasuhan. Ayah sebagai pemilik otoritas aturan bertugas menjaga anak dari
pengaruh buruk lingkungan. Ibu sebagai pemberi rasa nyaman menjadi daya pikat
anak untuk selalu pulang ke rumah. Tentu saja, ayah yang tegas juga harus
diimbangi dengan kelembutan dan kebaikan pada sisi lain agar anak tidak trauma.
Begitu juga ibu, sesekali boleh bawel asal jangan kebablasan. Jika ibu ingin
menegakkan aturan, cukup dengan kalimat “Ingat nggak, ayah bilang apa?” Anak tahu bahwa aturan bukan dari
ibunya tapi dari ayah. Jika fungsi ayah serius dijalani, insya Allah tak ada
lagi kalimat resah dan gelisah dari ibu karena ayah telah kembali.
Dwi Hardianto
Diolah dari berbagai sumber
Assalamualaikum
BalasHapusSyukron sudah bikin tulisan yang mencerahkan
Izin copaste untuk ditaruh diberanda IG dengan menyertakan sumber dari sini kak